"Pangapuntene Kula!": Tradisi Menyapa Sarat Makna

Pangapuntene Kula! (Tradisi Menyapa Sarat Makna)

"Pangapuntene kula!"
"Nggih. Sami-sami."
(Bahasa Indonesia:
"Maafkan saya!
"Iya. Sama-sama.")

Pernah mendengar dialog singkat seperti itu? Di masna? Dalam konteks apa?

Lahir dan besar di lingkungan Buntet Pesantren, penulis sangat akrab dengan dialog singkat seperti ini. Bagi orang yang berasal dari budaya lain (yang tidak memiliki tradisi yang sama), dialog seperti itu mungkin menyiratkan bahwa ada seseorang yang baru saja berbuat salah lalu meminta maaf. Kemudian lawan dialog memaafkannya. Akan sangat mungkin jika orang dari budaya lain merasa kebingungan ketika tiba-tiba seseorang berkata kepadanya: "Pangapuntene kula!" Bahkan, mungkin saja dia berpikir memangnya salah apa sampai harus minta maaf, padahal bertemu pun baru kali itu.

Serupa dengan ini, Bahasa Mandarin punya ungkapan "Ni chi le ma?" (Bahasa Indonesia: "Kamu sudah makan?"). Orang-orang dari budaya lain mungkin sekali akan merasa kebingungan menerima pertanyaan ini dalam situasi yang tidak tepat. Misalnya saja, seseorang sedang membesuk saudaranya di rumah sakit lalu saat bertemu si pasien bertanya: "Ni chi le ma?" Kalau kebetulan si pembesuk itu belum makan, mungkin dia akan bingung harus menjawab apa. Karena, jika dia menjawab sudah, berarti dia berbohong. Sebaliknya kalau dia menjawab belum, akan terdengar tidak sopan karena barangkali dianggap ingin meminta makanan padahal kondisi pasien sedang tidak baik.

Dua ungkapan ini - "Pangapuntene kula!" dan "Ni chi le ma?" - ternyata hanya sekadar sapaan. Dua ungkapan berbeda ini tentu muncul dari dua budaya yang tak seragam. "Ni chi le ma?" bisa jadi muncul dari keadaan China yang pernah dilanda musibah pangan, sehingga ketika bertemu dengan orang lain yang pertama kali ditanyakan adalah apakah sudah makan atau belum.

Bagaimana dengan "Pangapuntene kula?" Penulis berasumsi bahwa ungkapan ini muncul dari budaya saling memaafkan yang sangat kental sehingga muncul dalam bentuk ungkapan. Hal ini lalu melahirkan bentuk ungkapan permintaan maaf bahkan pada kali pertama bertemu, sebuah momen yang tidak lumrah untuk meminta maaf. 

"Pangapuntene kula!" tidak boleh hanya muncul di lidah dan disuarakan di permukaan. Ungkapan ini, menurut pendapat penulis, sebaiknya dilesapkan di hati baru dilepaskan di lidah. 

"Nggih. Sami-sami." juga baiknya adalah ungkapan tulus pemberian maaf, bukan sekadar penggugur kewajiban dalam dialog. 

"Pangapuntene kula!"
"Nggih. Sami-sami."
Dialog sapaan dan menjawab sapaan khas ini sedikit banyaknya menggambarkan bagaimana budaya meminta maaf dan memaafkan sudah melarut dalam keseharian masyarakat penuturnya. Jadi, kalau ada yang berkata: "Jangan nunggu lebaran buat minta maaf," ceritakan padanya kalau kami melakukannya setiap kali bertemu.

*Disclaimer
Artikel ini hanya didasari oleh pengetahuan penulis yang sedikit. Tidak ada kajian ilmiah di dalamnya. Penulis banyak menggunakan kata 'mungkin' sebagai penjelas bahwa itu hanya pendapat pribadi.

Pangapuntene kula!
Mughits Rifai

"Pangapuntene Kula!": Tradisi Menyapa Sarat Makna "Pangapuntene Kula!": Tradisi Menyapa Sarat Makna Reviewed by Ugit Rifai on Sunday, June 25, 2017 Rating: 5

No comments:

++ Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan. ++
++ Klik 'subscribe by email' untuk mendapatkan pemberitahuan jika ada komentar baru. ++

Powered by Blogger.